Pelaku usaha dalam hal ini Juragan Pasar hingga pemilik pabrik makanan dan minuman (mamin) di Indonesia tak sepakat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI), Suhendro secara khusus menolak pasal 434 di PP tersebut yang diantaranya mengatur larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Aruran ini akan berdampak sangat besar bagi para pelaku usaha kecil.
“Ekonomi kerakyatan kita sangat terpukul, kita baru kena masalah pandemi, ditambah ekonomi sedang naik turun. Kami berharap sekali pemerintahan baru bisa mendengarkan suara kami dan PP ini bisa ditinjau ulang,” tegas Suhendro dalam keterangannya dikutip Senin (2/9/2024).
Ia menyoroti tujuan utama dari peraturan ini, yakni mengurangi konsumsi rokok di kalangan anak di bawah umur, belum tentu dapat tercapai dengan efektif. Sedangkan persoalan barunya yakni akan adanya beban tambahan yang ditanggung oleh pedagang kecil. Sehingga, ia menilai aturan tersebut sedianya masih perlu dipertimbangkan secara lebih bijaksana.
Di sisi lain, suara dan aspirasi pedagang pasar serta pengusaha kelontong tidak mendapatkan perhatian yang layak selama proses penyusunan PP 28/2024. Pihaknya telah mengajukan permohonan agar larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dihapuskan dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan, namun permohonan tersebut tidak diakomodir.
“Dengan latar belakang tersebut, APARSI menegaskan komitmennya untuk menolak dengan tegas PP 28/2024 demi keberlangsungan usaha para anggotanya dan ekonomi kerakyatan pada umumnya,” ujarnya.
Sementara itu dari pengusaha pabrik makanan, Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman memandang bahwa PP28/2024 seakan-akan menjadikan gula sebagai barang haram. Padahal, gula merupakan kebutuhan penting bagi tubuh manusia, terutama selama masa pertumbuhan.
Industri makanan dan minuman pun telah berupaya melakukan reformulasi dengan mengurangi kadar gula dalam produk mereka. Namun, masalah muncul ketika konsumen justru menambah gula sendiri pada produk tersebut.
“Meskipun kami sudah mengurangi kadar gula dalam produk, pada akhirnya, konsumen menambahkan gula sendiri di rumah, terutama pada minuman tanpa gula yang kami jual,” jelas Adhi.