Pemerintah akan mengubah skema subsidi KRL Jabodetabek pada 2025. Rencananya, tarif KRL mengacu pada skema subsidi berbasis Nomor Induk Kependidikan (NIK), sehingga setiap pengguna bakal mendapat harga berbeda.
Jika aturan ini berjalan, maka berarti tidak semua masyarakat bisa menerima layanan KRL dengan harga murah seperti sekarang, yakni minimal Rp3.000 per 25 Km pertama. Tak heran, wacana ini lantas menuai sejumlah protes dari pengguna KRL Jabodetabek. Mereka menganggap aturan memberatkan pengguna yang mayoritas berasal dari kelas menengah.
Suara protes masyarakat sejatinya harus didengar pemerintah jika tak ingin terjadi kerusuhan seperti di Chile pada 2019 lalu yang dipicu oleh kenaikan tarif KRL bawah tanah.
Seperti Indonesia, mayoritas penduduk Chile juga didominasi oleh kelas menengah yang memiliki penghasilan tidak besar dan tidak kecil. Mereka sangat mengandalkan transportasi umum berharga murah yang disubsidi pemerintah.
Namun, pada 6 Oktober 2019, pemerintah Chile tiba-tiba menaikkan tarif KRL sebesar 4% di Ibukota negara, Santiago. Pemerintah berdalih kenaikan terjadi imbas meroketnya harga bahan bakar dan pelemahan nilai tukar Peso Chile terhadap dollar AS. Meski begitu, alasan pemerintah tak bisa diterima masyarakat.
Sebagai tanggapan, masyarakat melakukan aksi protes besar-besaran sepanjang bulan Oktober. Time melaporkan, aksi protes pertama kali dilakukan oleh siswa sekolah menengah dan mahasiswa. Mereka melompati palang tiket supaya menghindari kenaikan tarif. Sekaligus juga menyerukan kepada khalayak agar tak membayar tiket KRL.
Seiring berganti hari, aksi kemudian diikuti oleh masyarakat luas. Mereka melakukan hal sama dan turut serta turun ke jalan menyuarakan protes. Mengutip laporan Reuters, mereka melakukan demonstrasi karena menganggap kenaikan tarif KRL menambah beban keuangan mereka. Sebab selama ini mereka sudah dibebani oleh mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan.
Sayang, aksi ini kemudian ditanggapi secara keras pemerintah dengan mengirimkan polisi ke seluruh stasiun. Secara represif, polisi menghalau para demonstran. Alhasil, bentrokan dan kerusuhan hebat tak bisa dihindari.
Demonstran menyerang dan membakar banyak stasiun sehingga infrastruktur publik rusak dan roda ekonomi berhenti. Pemerintah kewalahan hingga mengeluarkan jam malam dan keadaan darurat. Tak hanya itu, aksi protes yang berawal dari kenaikan tarif KRL di Ibu kota negara menjadi katalisator demonstrasi masyarakat di banyak kota lain.
Mereka menjadikan aksi tersebut suara untuk menyuarakan perbaikan kualitas hidup dan ketimpangan sosial. Sebagai catatan, dalam laporan Vox, Chile menjadi negara dengan ketimpangan tertinggi di Amerika Latin. Negara itu kaya, tapi banyak masyarakat yang berada dalam jeratan kemiskinan, sehingga memunculkan istilah baru di dunia ekonomi: Chilean Paradox.
Pada akhirnya, turunnya masyarakat ke jalanan tercatat sebagai demonstrasi terbesar sepanjang sejarah Chile. Mereka rela bertaruh nyawa demi keberhasilan tuntutan, sekalipun dibayang-bayangi sikap represif pemerintah.