Petugas membawa bendera partai-partai politik peserta Pemilu 2024 dalam kirab Kampanye Pemilu Damai di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Senin (27/11/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.
Tiada pergerakan lembaga negara yang luput dari restu partai politik. Mulai dari pencalonan presiden hingga menguji kelayakan hakim agung, keterlibatan partai politik merupakan keniscayaan.
Contoh, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum secara gamblang mengatur bahwa yang mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik.
Bahkan, Pasal 222 UU Pemilu mengamanatkan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya.
Di sisi lain, terkait dengan pengisian jabatan hakim agung–meskipun sudah disediakan instrumen yang bernama Komisi Yudisial–pada akhirnya hakim agung akan ditentukan oleh DPR melalui uji kelayakan dan kepatutan.
Guna menjadi anggota DPR, ia haruslah seseorang anggota partai politik peserta pemilu, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu.
Bukan hal yang berlebihan untuk menyematkan istilah ‘pemain kunci’ perpolitikan kepada partai politik. Sebab, sebagaimana yang telah menjadi perhatian dari Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra, suprastruktur politik Indonesia, baik lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif dibangun oleh partai politik.
Berbagai aturan tersebut, dalam hal ini undang-undang, lahir dari rahim parlemen, yang lagi-lagi diisi oleh para utusan partai politik pilihan rakyat.
Saldi Isra merasa perlu adanya perhatian serius terhadap partai politik di Indonesia. Ia mengaku terlambat menyadari betapa jarang pengelolaan partai politik menuai perhatian.