Asing Tak Lagi Jadi Raja Surat Utang RI di Era Jokowi, Pilih Kabur?

Selama 10 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terjadi perubahan signifikan dalam kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) oleh investor asing dan ritel.

Kepemilikan asing jauh berkurang sementara sebaliknya investor ritel mulai gemar membeli obligasi pemerintah. Perkembangan ini menjadi kabar baik di tengah upaya pemerintah mengurangi exposure asing serta memperdalam investor obligasi dari dalam negeri.

Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) mencatat kepemilikan asing di awal pemerintahan Jokowi pada Oktober 2014 berada di angka 37,23%. Pada saat yang sama, kepemilikan oleh investor ritel atau individu hanya sebesar 2,19%.

Kepemilikan asing bahkan sempat berada di angka 39% lebih dan nyaris mendekati 40% pada akhir 2017. Tingginya kepemilikan asing tidak bisa dilepaskan dari fenomena “hot money” yang mengalir ke Emerging Markets setelah bank-bank sentral negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, hingga Uni Eropa menggelontorkan kebijakan longgar quantitative easing untuk menggeliatkan ekonomi mereka usai dihantam Krisis Global 2008/2009.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan ketidakstabilan pasar keuangan Indonesia, mengingat tingginya risiko yang dihadirkan oleh “hot money” atau aliran dana asing yang bisa keluar masuk dengan cepat.

Rupiah dengan mudah goyang jika terjadi guncangan eksternal karena asing ramai-ramai kabur. Harga Surat Berharga Negara (SBN) pun dengan jatuh dan imbal hasilnya naik.

Kepemilikan asing baru turun drastis setelah pandemi Covid-19 melanda dunia pada 2020. Tingginya ketidakpastian global membuat investor asing kabur. Di sisi lain, program burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) membuat kepemilikan BI di SBN melonjak.

Kabar positifnya, investor ritel juga makin rajin membeli SBN sehingga mulai ada peningkatan kepemilikan. 

Berdasarkan data terbaru pada 14 Juni 2024, kepemilikan SBN oleh asing telah turun drastis menjadi 13,96%, sementara kepemilikan oleh individu/ritel meningkat signifikan menjadi 8,56%.
Kepemilikan BI (gross) melesat dari 12,39% pada pra pandemi Februari 2020 menjadi 24,36% seperti saat ini.

Kepemilikan asing yang turun di satu sisi bisa menekan eksposur dari tekanan global. Namun, melandainya kepemilikan asing juga mencerminkan sejumlah kondisi negatif. Menurut Ekonom Senior, Fauzi Ichsan pada acara Power Lunch, CNBC Indonesia, Selasa (14/5/2024), penurunan ini disebabkan oleh beberapa faktor eksternal. Di antaranya adalah adanya persaingan ketat dalam kompetisi global serta volatilenya kurs rupiah.

Menurutnya, investor asing memiliki banyak pilihan instrumen utang dari berbagai negara berkembang lainnya seperti India dan Kolombia, yang menawarkan imbal hasil kompetitif. “Untuk investor asing, mereka memiliki banyak pilihan. Bisa beli SBN dari Indonesia, India, atau Kolombia. Imbal hasilnya kompetitif,” kata Fauzi.

Ketidakstabilan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga mengurangi daya tarik SBN bagi investor asing karena risiko pengurangan return jika tidak dilindungi (hedging). “Kurs rupiah yang sempat labil juga mengikis return investor asing kalau membeli SBN Indonesia, terutama jika tidak di hedge,” lanjutnya.

Besarnya porsi asing dalam kepemilikan SBN membuat Indonesia rentan terhadap gejolak pasar global. Untuk menekan porsi asing, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan.

OJK mewajibkan perusahaan asuransi untuk menempatkan investasi mereka minimum 30% ke obligasi.

Pemerintah juga memperbanyak penjualan ritel menjadi lebih dari lima kali setahun dari semula 1-2 per tahun. Minimum pembelian juga diturunkan menjadi Rp 1 juta per unit dari semula Rp 5 juta. Jenis SBN ritel diperluas dari hanya Obligasi Ritel Indonesia (ORI) dan Sukuk kini ditambah dengan Saving bonds hingga Sukuk tabungan.

Sebagai perbandingan, pemerintah hanya menarik sekitar Rp 30 triliun dari dua kali menerbitkan SBN ritel pada 2014. Angka ini melonjak menjadi lebih dari Rp 147,8 triliun dengan tujuh kali penerbitan SBN ritel pada 2023.

Kondisi ini setidaknya meningkatkan kepemilikan investor ritel dari semula hanya 2% kini menjadi sekitar 8%.

Kebijakan portofolio asuransi di instrument SBN, BI, serta peningkatan investor ritel membuat pemerintah bisa mengurangi satu momok besar selama ini yakni besarnya porsi asing dalam kepemilikan SBN.

Porsi asing sudah jauh berkurang dari sekitar 39% pada akhir 2017 menjadi sekitar 14% pada Juni 2024.
Rasio utang pemerintah memang meningkat tajam sejak pandemi Covid-19 hingga berada di kisaran 41% pada akhir 2021dari sekitar 38,6% per akhir April 2024.
Namun, semakin berkurangnya porsi asing diharapkan mengurangi eksposur tekanan global saat terjadi ketidakpastian di pasar keuangan global.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*